Senin, 08 Oktober 2012

~•.....Jangan Berkata Seandainya.....•~


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hing

ga akhir zaman. Posting ini adalah lanjutan dari posting sebelumnya (Tetap semangat dalam hal yang bermanfaat).
Kita masih melanjutkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)

Jika Tidak Memperoleh Sesuai yang Diinginkan, Janganlah Katakan: “Seandainya Aku Lakukan Demikian dan Demikian, pasti ...”

Lalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat melakukan sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, serta engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai, namun ternyata hasil yang dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau katakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian”. Karena mengenai hasil adalah di luar kemampuanmu. Kamu memang sudah melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun Allah pasti tidak terkalahkan dalam setiap putusan-Nya.

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)

Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam rangka mengunjungi saudaranya. Namun di tengah jalan mobil yang dia gunakan rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata: Seandainya aku tadi menggunakan mobil lain tentu tidak akan seperti ini. Kami katakan: Janganlah engkau katakan demikian. Engkau memang sudah giat melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah menghendakimu sampai ke tempat tujuan, itu pun karena takdir-Nya. Akan tetapi saat ini, Allah tidak menghendakinya.

Kenapa Tidak Boleh Mengatakan “Seandainya Aku Melakukan Demikian dan Demikian, pasti ...”?

Jika seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu amalan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada Allah karena hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya. Oleh karena itu, maksud hadits ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan seluruh usahamu, juga tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, lalu hasilnya tidak tercapai, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka nanti akan demikian dan demikian’.” Ketetapan mengenai hal ini telah ada, tidak mungkin hal tersebut dirubah kembali. Urusan tersebut telah ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi 50.000 tahun yang lalu.

Apa hikmah tidak boleh mengatakan ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya, “Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” Maksudnya apa? Yaitu perkataan law (seandainya) dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was, sedih, timbul penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih semacam ini, engkau pun mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian”.

Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang?

Kata ‘law (seandainya atau andaikata)’ biasa digunakan dalam beberapa keadaan dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.

Pertama: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”

Kedua: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”

Ketiga: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”

Keempat: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ

“Dan mereka berkata: "Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)".” (QS. Az Zukhruf: 20)

Kelima: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.

Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.”

Namun, apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama”. Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”

Keenam: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”

Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah

Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, ...” Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah”. Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan.

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”(QS. Huud: 107)

Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.

Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insan: 30)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)

Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 300 penumpang. Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas. Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat? Namun, Allah memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut ternyat yang selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan pesawat. Namun ternyata hal itu baik baginya.

Oleh karena itu –saudaraku-, jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau meminta pertolongan pada Allah, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati. Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti akan ...”. Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu setan. Engkau pun akan merasa was-was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana”.

Mengambil Sebab Bukan Berarti Tidak Tawakkal

Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan ketetapan Allah, di samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah yang merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah sempurna melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam perkara pun tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini. Karena maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, ...”, ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan usaha baik dalam urusan dunia maupun agama.

Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)

Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:

Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul Falihin, 1/335)

Al Munawi juga mengatakan,”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan,”Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)

Tak Pernah Usai....

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya, kalau kita menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah yang amat banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga ini.

Pertama, sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang bermanfaat baginya, malah semangat jika melakukan hal yang berbahaya atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam hanya dia lewati dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.

Kedua, jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, akhirnya dia akan menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya melakukan ini dan ini, pasti akan ...”. Sikap semacam ini tidaklah tepat. Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya dan tidak lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan tersebut, maka serahkanlah semuanya pada Allah.”


Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
----------------

Dosa dan Amal

Masuk Surga Kerana "dosa" ,Masuk neraka kerana "amal kebaikan" .

Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, A
llah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih).

Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.

S A H A B A T

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Apabila anda ingin bersahabat denganku,janganlah karena kelebihanku.....
Karena mungkin dgn satu kelemahanku, anda mungkin akan menjauhiku....

Andai anda ingin berteman denganku,janganlah karena kebaikanku...


Karena mungkin dengan satu keburukanku,anda akan membenciku...

Andai anda ingin saya menjadi sahabat anda,janganlah karena ilmuku,karena aku seorang yg fakir ilmu,karena apabila saya buntu,mungkin anda akan memfitnahku...

Andai anda ingin bersahabat denganku terimalah aku apa adanya,karena aku hanya seorang sahabat yg hanya manusia biasa.

jika anda ingin berteman denganku janganlah karena hartaku,karena aku orang yg tak berharta.

Janganlah mengharapkan aku sempurna karena aku sangat jauh dari sempurna utk mengikuti kehendak Alloh Swt yg sebenar benarnya.

Aku bukanlah sumber ilmu.karena yg kudapat adalah dari seorang guru...

Aku bukanlah sumber karena Alloh lah yg berkehendak dan penurun segala kebaikan dan keburukan ini.

Yuk kita saling belajar.....


By:aNd aasf

"KEBIASAAN ISTERI YANG DISUKA SUAMI"


1. Berusahalah berhias secantik mungkin jika bersama suami.

2. Tampakkan wajah yang selalu ceria dan berseri di depan suami.

3. Banyaklah memberi perhatian kepada suami. Dengan perhatianmu maka akan membuat dirinya merasa nyaman.

4. Terimalah apapun pemberian suami. Dan jangan sekali-kali mengeluhkan atau menyepelekannya.

5. Jangan banyak menuntut kepada suami dengan hal-hal yang masih belum bisa ia penuhi.

6. Hindarilah membantah apa yang suami ucapkan.

7. Selalu taatilah segala permintaan ataupun perintah suami sepanjang bukan hal kemaksiatan.

8. Temani suami di saat makan. Dengannya ia akan merasakan kenikmatan dalam kebersamaan.

9. Hindarilah melakukan sesuatu yang tidak disukai suami.

10. Janganlah suka keluar rumah jika tak ada keperluan penting. Karena rata-rata seorang suami tidak menyukainya.

11. Hiburlah suami disaat ia dalam kesedihan.

12. Dan yang tak kalah penting, usahakan selalu turuti permintaan suami jika hendak mengajak tidur bersama sepanjang tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk melakukannya.

Jumat, 05 Oktober 2012

Niat, pikiran, bicara dan perilaku orang beriman

Orang yang beriman mengatur seluruh hidupnya sesuai dengan Al-Qur'an dan berjuang untuk melaksanakan dengan hati-hati setiap hari apa yang telah dibaca dan dipelajarinya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam segala perbuatannya sejak bangun pada pagi hari sampai tidur pada malam hari. Dia berniat untuk berfikir, berbicara dan bertindak berdasarkan ajaran Al-Qur'an (QS Al-An'am, 6:162).

Bagi orang yang beriman, tidak ada sesuatu pun yang lebih dirindukan daripada memperoleh keridhaan Allah dan dicintai olehNYA. Orang yang beriman berusaha mencari Cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam hidupnya (QS. Al-Maidah, 5:35)

Sebagai sebuah rahasia dan berita gembira bagi orang-orang beriman, Allah SWT mengungkapkan dalam Al-Qur'an bahwa apa yang dibelanjakan akan menjadi Cara untuk mencapai kedekatan denganNYA. Dengan demikian, bagi orang yang beriman, memberikan apa yang dicintai dan yang melebihi keperluannya kepada orang-orang miskin tidaklah sulit, tetapi merupakan kesempatan berharga untuk membuktikan bahwa ia adalah orang yang taat dan cinta kepada Allah SWT (QS. At-Taubah, 9:99).

(Harun Yahya, 24 jam dalam kehidupan seorang muslim).

Selasa, 28 Agustus 2012

Nilai Kehidupan..


Kita korbankan kesehatan untuk mendapatkan kekayaan
Kita berencana, bekerja dan menumpuk simpanan
Kemudian kita korbankan kekayaan untuk memperoleh kembali kesehatan
Dan yang sering kita dapatkan hanyalah kuburan

Kita hidup dan bangga atas harta simpanan
Kita mati, lalu hanya mendapatkan nisan

Saat diberi nasehat untuk mengutamakan kesehatan
Alasannya “ TIDAK ADA UANG”
ADA pun, dikatakan TIDAK ADA

Saat penyakit menggerogoti dan menghabiskan banyak biaya
TIADA UANG PUN HARUS DICARI SAMPAI ADA

Saat diminta untuk meluangkan waktu untuk menjaga kesehatan
SENGGANG PUN DIKATAKAN SIBUK

Tapi…….
Saat malaikat pencabut nyawa datang menjemput
SESIBUK APAPUN HARUS IKUT !!!

^^^

Rasanya benarlah apa yang dipesankan oleh puisi diatas.
Kita sibuk dari pagi sampai malam demi mengejar kekayaan tapi mengabaikan kesehatan
Ketika penyakit sudah datang, hilanglah semua harta untuk menebus kembali kesehatan
Tapi kebanyakan sudah terlambat
Kita baru sadar ketika ada teman dekat atau kerabat yang wafat karena penyakit jantung, stroke, diabetes dan berbagai penyakit lain, yang mungkin saja kitapun mengidapnya.
Namun kesadaran itu biasanya hanya sesaat, seiring datangnya kesibukan, kitapun abai lagi tentang kesehatan.
Mari sebelum terlambat, pedulilah pada kesehatan Anda.
Nikmati sisa usia kita dengan kesehatan yang prima.
Karena banyak kita lihat orang paruh baya dan belum terlalu tua sudah harus bertongkat atau bahkan terbaring lumpuh akibat stroke atau penyakit lainnya.
Menyedihkan…
Semoga kita bisa terhindar darinya….
Kalau bukan kita siapa lagi yang harus peduli pada kesehatan kita sendiri.

( Forum Republika )

Kamis, 09 Agustus 2012

Orang-orang Yang Menyesatkan Manusia di Masa Kini


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits:

 

“Masa saling berdekatan, ilmu berkurang, kepelitan tersebar, berbagai fitnah muncul, dan banyak kekacauan.” Mereka bertanya: ”wahai Rasulullah, apakah kekacauan itu?’ Beliau menjawab: “pembunuhan demi pembunuhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

 

Disini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang sebuah masa yang sangat buruk. Di mana ilmu berkurang, kepelitan tersebar, serta muncul berbagai fitnah, dan kekecauan. Masa kita ini adalah saat yang tepat untuk kita memahami hadits diatas.

 

Di zaman ini, ilmu telah sedemikian berkurang, sehingga sangat langka untuk kita temui di tengah masyarakat muslimin, seorang yang bisa disebut sebagai ulama. Kondisi ini semakin diperparah dengan kemunculan berbagai fitnah dan kekacauan di tengah-tengah mereka.

 

Termasuk yang perlu kita waspadai di masa ini dari sekian fitnah dan keributan yang terjadi adalah para tokoh penyesat umat.

 

Di dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Hanya saja yang aku khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin (baca: tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al Imam Muslim, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Al Albani rahimahullah dalam As-Shahihah 4/110)

 

Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata ‘hanya saja’ menunjukkan bahwa kekhawatiran beliau terhadap para pemimpin (baca:tokoh) yang menyesatkan sedemikian kuat. Karena mereka adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka sangat mampu untuk menyesat umat ini dari jalan Allah.

 

Allah berfirman mengenai orang-orang yang binasa:

 

“Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta’ati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al-Ahzab: 67)

 

Maka kita perlu berhati-hati dari bahaya laten para tokoh yang menyesatkan. Mereka memiliki lisan yang mampu untuk menyesatkan umat dengan mengolah kata dan bersilat lidah. Demikianlah keadaan mereka.

 

Maka ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Ziyad bin Fudhail:

 

“Apa yang dapat menghancurkan Islam?” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yang menghancurkan Islam adalah ketergelinciran seorang yang ‘alim (yang berilmu), dan seorang munafik yang berdebat dengan menggunakan al-kitab.”

 

Ini adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka akan menyesatkan kaum muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dalil-dalil syar’i namun bukan pada tempatnya.

 

Ulama Yang Jahat (Ulama Su’)

 

Demi Allah, pada masa ini, masyarakat kita dikepung oleh tipikal-tipikal pemimpin maupun tokoh yang seperti itu. Menyeruak di sekitar mereka, para ulama su` (jahat) yang dengan segala kelihain dan kelicikan, menyesatkan umat dengan berbagai syubhat dan kerancuan pemikiran. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mewaspadai suasana genting ini, dengan mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para ulama yang mengamalkan dan memperjuangkan agama Allah dengan segala yang mereka miliki. Inilah satu-satunya penanganan yang paling efektif dalam menanggulangi gejolak fitnah yang sedahsyat itu.

 

Berapa banyak orang yang menyuarakan kebenaran, namun sedikit diantara mereka yang bisa menunjukkan bahwa yang benar itu adalah benar, dan dia benar-benar di atas yang benar . Oleh sebab itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menegaskan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak mendapatkannya.”

 

Para pemimpin atau tokoh penyesat umat lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh Allah yang menyerang dari luar lingkup kaum muslimin. Apakah mereka dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Kalau mereka dari kalangan orang-orang yang kafir, tentunya kebanyakan kaum muslimin waspada terhadap berbagai makar mereka. Namun bagaimana dengan musuh dalam selimut yang berbaju sama, berkopiah sama, dan berpenampilan sama seperti kaum muslimin, bahkan beramal pada sebagian amalan, sama seperti kaum muslimin. Mereka shalat seperti kaum muslimin, dan berbicara dengan lisan/bahasa kaum muslimin. Akan tetapi mereka adalah para penyeru kepada neraka jahannam.

 

Di dalam hadits Hudzaifah bin Al Yamaan radhiyallahu ’anhu disebutkan:

“Ya, para da’i yang mengajak kepada pintu-pintu neraka jahannam. Barangsiapa yang memehuhi panggilan mereka, mereka akan mencampakkannya ke dalam neraka jahanam itu.” Aku bertanya: “wahai Rasulullah! Sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka dari jenis kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa-bahasa) kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Inilah bahaya laten yang sangat kejam dalam membinasakan kaum muslimin . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’am: 119)

 

“Tetapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan oleh Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (Ar-Rum: 29)

 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari kejahatan para tokoh penyesat umat. Wallahu a’lam bish shawab

 

Sumber : Tokoh Penyesat Umat, oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani,

Yang Penting Niat ? … Kebodohan Dalam Memahami Arti Niat



Akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita kan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.

Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavellisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh Nicollo Machiavelli 5 abad yang lalu?.

Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita kan baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia (dibawah ini) dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan falsafah Machiavelli. (Na’uzubillah).

(Dari Amir l’Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA, maka hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepada nya.” (HR: Bukhari-Muslim)

Hadits di atas begitu popular di kalangan kaum muslimin. Sering sekali kita mendengar ucapan: “Yang penting niat. Bukankah niat kita baik” Dan sangat boleh jadi pengucapnya hanya tahu sedikit atau sebagian dari kaedah ini. Mungkin dia mendengar hanya potongan dari hadits ini yang diucapkan seseorang, mungkin juga lengkap tetapi telah disimpangkan pengertiannya oleh orang yang ia dengar dari nya hadits ini. Akhirnya semakin jauhlah apa yang sering diucapkan kebanyakan kaum muslimin dengan maksud sesungguhnya dari hadits di atas, bahkan bertentangan sama sekali.

Sesungguhnya hadits ini sangat mulia dan keluar dari lisan manusia yang paling mulia. Oleh karena nya wajib bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari nya, sebagaimana para ulama kita memberikan perhatiannya yang khusus terhadap hadits ini.

Beberapa komentar para ulama di bawah ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya hadits ini di dalam Islam.
1. Imam Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fiqh.”
2. Imam Ahmad ibn Hanbal,”Pokok ajaran Islam terdapat pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita bicarakan sekarang), Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”
3. Imam Syaukaani,” Hadits Niat merupakan sepertiga ilmu (-di dalam Islam-).
4. Imam Ibn Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan bagi amalan bathin, sedangkan Hadits Aisyah (من أحدث….) merupakan timbangan bagi amalah dzahir.”
5. Imam Abu Sa’id Abdurrahman ibn Mahdi,” Siapa saja yang hendak menulis sebuah kitab, hendaknya ia membuka dan memulainya dengan membawakan hadits Niat.”

Demikianlah di antara beberapa ucapan para ulama berkaitan dengan hadits Niat yang menunjukkan betapa mereka memberikan perhatian khusus terhadap hadits ini. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan hadits ini sebagai perkara yang pertama dibahas di dalam tulisan mereka, yang antara lain dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap hadits ini, agar para pencari ilmu membenarkan dan meluruskan niat mereka ketika mereka hendak mempelajari agama ini (Islam), dan juga tentunya masih banyak lagi faedahnya. Mereka -yang memulai kitabnya dengan hadits ini- adalah Imam Al Bukhari (dalam Shahih-nya), Imam An-Nawawi (Riyadlush-Sholihin dan Al Arba’in-nya), Taqiyuddin Al Maqdisi (Umdatul Ahkam), dan Imam Asy-Syuyuthiy (Jami’ush-Shaghir)

Di antara faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini -sebagaimana kita dapati dari keterangan para ulama- adalah:

1. Niat merupakan bagian dari Iman.
Niat merupakan amalan hati. Sedangkan ta’rif (difinisi) Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : Diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dibuktikan dengan anggota badan dan perbuatan….Oleh karena nya pula Imam Bukhari meletakkan hadits ini di dalam Kitab Al Iman. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai berikut (artinya) :
“Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikan tetapi belum mengamalkannya, ALLAH mencatat -bagi orang tersebut- di sisi-NYA dengan kebaikan yang sempurna”    (Muttafqun alaih)

2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.
Setiap muslim wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaedah yang berbunyi : (Ilmu sebelum berkata dan bertindak). Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman-ALLAH (artinya):
“Maka ilmuilah bahwasanya tak ada yang berhak diibadahi kecuali ALLAH dan istighfarlah atas dosamu”   (Muhammad:19)
Maka tidak layak bagi kita berkata, “Oh…jadi perbuatan saya itu salah, ya. Saya kan belum tahu hukumnya.” Terlebih lagi kalau itu perkara agama atau ibadah.

3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.
Amalan ta’at yang tidak disertai dengan niat tidaklah dikatakan keta’atan. Begitu pula kebaikan-kebaikan tidaklah menjadi ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Karena nya pertama-tama perlu kita mengetahui apa fungsi niat bagi amal.

Sesungguhnya niatlah yang membedakan sebuah amalan.  
 Pertama; dibedakannya amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Seseorang yang mandi keramas untuk kebersihan tak perlu berniat sebagaimana orang yang mandi keramas karena junub.
Ke-dua; dibedakannya antara ibadah yang sama satu sama lain. Jika kita dapati seseorang berpuasa di bulan Syawal, misalnya. Maka boleh jadi orang tersebut sedang membayar hutang puasanya, boleh jadi ia sedang puasa Syawal, atau boleh jadi ia sedang puasa sunnat lainnya. Yang membedakan dan menentukan untuk apa amalan tersebut adalah niatnya.   
 Ke-tiga; dibedakannya maksud dan tujuan sebuah amalan. Seseorang mengerjakan keta’atan bahkan perbuatan yang bersifat ibadah. Maka apakah perbuatan tersebut diniatkan untuk mendapatkan keridloan ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala atau mengharapkan selain dari itu ditentukan oleh niatnya.

4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.
Ada sebagian ulama yang menafsirkan ma’na Niat ini dengan Ikhlas. Yang demikian juga benar, karena artinya: Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada keikhlasan pelakunya. Sebuah amal -betapapun baik atau bermanfa’atnya itu- jika tidak dilandasi keikhlasan tidak akan diterima oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada ALLAH dengan mengikhlaskan agama ini semata-mata bagi NYA…”   (Al Bayyinah: 5)

Sungguh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala tidak membutuhkan keringat atau harta kita. Dan mengikhlaskan amalan semata-mata karena ALLAH merupakan wujud mentauhidkan ALLAH. Artinya, ikhlas juga merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari diciptakannya kita oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.
Sayangnya, masih banyak orang yang salah mengerti tentang ma’na ikhlas. Menurut mereka, ikhlas itu artinya tidak menuntut apa-apa dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bahkan mereka beranggapan bahwa, barangsiapa beribadah untuk mengharapkan surga maka itu ibadahnya pedagang. Dan barangsiapa beribadah karena takut akan neraka maka itu ibadahnya budak. Ada lagi yang berkata, “Hendaknya kita malu untuk meminta-minta kepada ALLAH, karena IA telah banyak memberikan segala sesuatu kepada kita.   Apalagi, ALLAH Maha Mengetahui apa yang kita butuhkan tanpa harus kita meminta.”   Ada lagi yang lebih lancang -semoga ALLAH memberi nya hidayah- dengan memperumpamakan ikhlas itu keadaannya seperti kita buang air besar, di mana kita tidak memperdulikan apa yang keluar dari perut kita dan bahkan kita merasa lega setelah membuang nya.

Alangkah berbahayanya ucapan ini dan alangkah buruknya perumpamaan yang mereka berikan.
Pertama; mereka telah mendustakan janji-janji dan ancaman-ancaman ALLAH. Lantas buat apa ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala menjanjikan kita sorga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, jika ibadah kita bukan karena itu ?
Ke-dua: mereka menantang kemurkaan ALLAH dan menolak keridloan-NYA. Dan jika orang tersebut tidak bertobat dari keyakinannya, sangat boleh jadi ia tak akan masuk sorga karena memang ia tak mengharapkannya, dan ia akan dimasukkan ke neraka karena mengatakan tidak takutnya kepada neraka. ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala menggambarkan ikhlas dengan perumpamaan yang baik, sedang mereka menggambarkannya dengan perumpamaan yang buruk.
Ke-tiga: menyelisihi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan merasa lebih baik dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saja berdo’a ,” Ya, ALLAH. Aku mengharapkan ridlo-MU dan Surga. Dan aku berlindung dari murka-MU dan Neraka.”
Ke-empat; melecehkan perintah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala telah memerintahkan hamba-NYA agar berdo’a:
“Dan berkata Rabb kalian: “Berdo’alah kalian kepada KU, niscaya KU penuhi untuk kalian…” (Al Mu’min: 60)

Hendaknya kita senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji. Pertama; sebelum beramal, yakni berupa niat. Kepada siapa dan karena apa kita niatkan amalan kita ? Ke-dua; ketika tengah beramal. Boleh jadi amalan yang semula lhklas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Sebagai contoh, kita marah ketika ucapan salam kita tidak dijawab, atau sedekah kita ditolak mentah-mentah, atau kita tambah bersemangat ketika tahu amalan kita ada yang memperhatikan. Ke-tiga; ketika amal telah berlalu. Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan kita bangkit-bangkitkan jasa kita dahulu.

5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.
Sebuah amal kebaikan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan niat yang baik, berupa keikhlasan, Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat. Dan berangkat dari perkara inilah sesungguhnya judul tulisan di atas dibuat.
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan pembatasan pada kata Amal, di mana yang dimaksudkan adalah amalan-amalan keta’atan. Apalagi kemudian beliau tegaskan dengan contoh Hijrah. Maka tidak boleh kita meng-qiyas-kan amalan yang baik ini dengan amalan yang buruk, seperti mencuri misalnya.

Namun akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita khan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.

Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavalisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh si kafir Nicolo Machiavale ?.
Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita khan baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan si kafir tadi. (Na’uzubillah).

Penutup
Masih banyak faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik selain yang telah disebutkan di atas seperti, keutamaan hijrah, balasan sesuai amalan, atau syarat diterimanya ibadah. Namun kami cukupkan pembahasan di dalam perkara yang berkaitan langsung dengan judul di atas dan dengan permasalahan yang hendak kami bahas.
Dengan melihat bagaimana para ulama berkomentar tentang hadits ini, tidak sedikitnya kitab-kitab yang diawali dengan hadits ini -bahkan itu semua adalah kitab-kitab yang terkenal-, dan begitu banyaknya ulama belakangan yang menguraikan nya, cukuplah ketidakhafalan dan ketidakpahaman kita akan hadits ini sebagai bukti ketidakseriusan kita dalam beragama.
Sumber :
Buletin Jum’at Risalah Tauhid Edisi 32

Jumat, 03 Agustus 2012

Kandungan Wasiat Penting Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam


Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada, mereka meminta wasiat beliau, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di antaranya:

 

1.  Wasiat untuk Takwa kepada Allah 

 

Takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.

 

Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:

 

“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)

 

Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana firman-Nya:

 

“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al Baqarah: 197)

 

Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.

 

2.  Wasiat untuk Mendengar dan Taat 

 

Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.

 

Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:

“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An Nisa’: 59)

 

Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethopia) yang rambutnya seperti kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzarr no. 648)

 

Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”

 

Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)

 

Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)

 

3. Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah 

 

Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”

 

Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi, no.2129)

 

Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225).

 

Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi).

 

Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75).

 

Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan (Ar Rasyidin) karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah (Al Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul ‘Ulum, 1/127)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya. (Al I’tisham, 1/118)

 

Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan jalannya Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang besar.”

 

Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)

 

4  Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah 

 

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena setiap bid`ah itu sesat”.

 

Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar radliallahu anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”

 

Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.

 

Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawaab

KIAT-KIAT MEMAKNAI RAMADHAN..

Kiat Pertama Memaknai Ramadhan : Bertawakal kepada Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:

1. Sikap Sebelum Beramal
Bertawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah merupakan hal paling penting untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal (ibadah puasa Ramadhan) karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.

2. Sikap Saat Mengerjakan Amalan Ibadah
Seorang hamba hendaknya ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah, sesuai Firman Allah ta’ala,
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Demikian pula telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)

3. Sikap Seusai Beramal
Seorang hamba hendaknya memperbanyak istigfar (permohonan ampun) atas kurang sempurnanya ia dalam beramal/beribadah. Ia juga butuh memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (merasa bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.

Kiat Kedua Memaknai Ramadhan: Banyak Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8 )

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Dosa hanya akan menjauhkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya harus memenuhi empat syarat:
1. Meninggalkan maksiat.
2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38 )

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para selebritis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

Kiat Ketiga Memaknai Ramadhan : Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Kualitas Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)

Kiat Keempat Memaknai Ramadhan : Memprioritaskan (Menyempurnakan) Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)

Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:
“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak mampu diperbanyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid (bagi pria), serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum adzan dikumandangkan. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

Kiat Kelima Memaknai Ramadhan: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3).

Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.

Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?

Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)

Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:
“Demi Allah aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh pada malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)

Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadhan:
“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cara memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa lailatul qadar setiap tahunnya selalu berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, dan Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495))

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:

- Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yang ganjil.
- Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)

Maka seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kiat Keenam Memaknai Ramadhan: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

Allah ta’ala memerintahkan:
“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”

Semoga kita tergolong orang-orang yang mampu menikmati keutamaan Ramadhan dan memperoleh hikmahnya, khususnya hikmah lailatul qadar.
Ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi sebelum Ramadhan.

Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.