Akhir-akhir ini
manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita kan
baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang
tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada sunnah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya niat. Cukupkah
itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat? Sungguh tak ada
satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para
penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka
mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.
Seandainya
memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang
haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa
bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavellisme, sebuah falsafah
-Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh Nicollo Machiavelli 5 abad
yang lalu?.
Maka hendaknya
berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita kan
baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia
(dibawah ini) dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan
sedang mengagungkan falsafah Machiavelli. (Na’uzubillah).
(Dari Amir
l’Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, berkata: Aku
telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa
yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA,
maka hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya
kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepada nya.”
(HR: Bukhari-Muslim)
Hadits di atas begitu popular di
kalangan kaum muslimin. Sering sekali kita mendengar ucapan: “Yang penting
niat. Bukankah niat kita baik” Dan sangat boleh jadi pengucapnya hanya tahu
sedikit atau sebagian dari kaedah ini. Mungkin dia mendengar hanya potongan
dari hadits ini yang diucapkan seseorang, mungkin juga lengkap tetapi telah
disimpangkan pengertiannya oleh orang yang ia dengar dari nya hadits ini.
Akhirnya semakin jauhlah apa yang sering diucapkan kebanyakan kaum muslimin
dengan maksud sesungguhnya dari hadits di atas, bahkan bertentangan sama
sekali.
Sesungguhnya
hadits ini sangat mulia dan keluar dari lisan manusia yang paling mulia. Oleh
karena nya wajib bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari nya, sebagaimana
para ulama kita memberikan perhatiannya yang khusus terhadap hadits ini.
Beberapa
komentar para ulama di bawah ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya hadits
ini di dalam Islam.
1. Imam
Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fiqh.”
2. Imam Ahmad ibn Hanbal,”Pokok
ajaran Islam terdapat pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita
bicarakan sekarang), Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”
3. Imam Syaukaani,”
Hadits Niat merupakan sepertiga ilmu (-di dalam Islam-).
4. Imam Ibn
Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan bagi amalan bathin, sedangkan Hadits
Aisyah (من أحدث….) merupakan timbangan bagi amalah
dzahir.”
5. Imam Abu
Sa’id Abdurrahman ibn Mahdi,” Siapa saja yang hendak menulis sebuah kitab,
hendaknya ia membuka dan memulainya dengan membawakan hadits Niat.”
Demikianlah di
antara beberapa ucapan para ulama berkaitan dengan hadits Niat yang menunjukkan
betapa mereka memberikan perhatian khusus terhadap hadits ini. Bahkan tidak
sedikit yang menjadikan hadits ini sebagai perkara yang pertama dibahas di
dalam tulisan mereka, yang antara lain dimaksudkan sebagai penghormatan
terhadap hadits ini, agar para pencari ilmu membenarkan dan meluruskan niat mereka
ketika mereka hendak mempelajari agama ini (Islam), dan juga tentunya masih
banyak lagi faedahnya. Mereka -yang memulai kitabnya dengan hadits ini- adalah
Imam Al Bukhari (dalam Shahih-nya), Imam An-Nawawi (Riyadlush-Sholihin dan Al
Arba’in-nya), Taqiyuddin Al Maqdisi (Umdatul Ahkam), dan Imam Asy-Syuyuthiy
(Jami’ush-Shaghir)
Di antara
faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini -sebagaimana
kita dapati dari keterangan para ulama- adalah:
1.
Niat merupakan bagian dari Iman.
Niat merupakan
amalan hati. Sedangkan ta’rif (difinisi) Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah : Diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dibuktikan dengan
anggota badan dan perbuatan….Oleh karena nya pula Imam Bukhari meletakkan
hadits ini di dalam Kitab Al Iman. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala mencatat
niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum
kita wujudkan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai
berikut (artinya) :
“Maka
barangsiapa yang bercita-cita hendak mengerjakan kebaikan tetapi belum
mengamalkannya, ALLAH mencatat -bagi orang tersebut- di sisi-NYA dengan
kebaikan yang sempurna” (Muttafqun alaih)
2.
Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.
Setiap muslim
wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Apakah amalan tersebut
disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan
telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaedah yang berbunyi : (Ilmu
sebelum berkata dan bertindak). Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah
satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman-ALLAH (artinya):
“Maka
ilmuilah bahwasanya tak ada yang berhak diibadahi kecuali ALLAH dan
istighfarlah atas dosamu” (Muhammad:19)
Maka tidak
layak bagi kita berkata, “Oh…jadi perbuatan saya itu salah, ya. Saya kan belum
tahu hukumnya.” Terlebih lagi kalau itu perkara agama atau ibadah.
3.
Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.
Amalan ta’at
yang tidak disertai dengan niat tidaklah dikatakan keta’atan. Begitu pula
kebaikan-kebaikan tidaklah menjadi ibadah jika tidak disertai niat untuk
beribadah. Karena nya pertama-tama perlu kita mengetahui apa fungsi niat bagi
amal.
Sesungguhnya niatlah yang membedakan
sebuah amalan.
Pertama; dibedakannya amalan ibadah dengan kebiasaan
atau yang bukan bersifat ibadah. Seseorang yang mandi keramas untuk kebersihan
tak perlu berniat sebagaimana orang yang mandi keramas karena
junub.
Ke-dua; dibedakannya antara ibadah yang sama satu sama lain.
Jika kita dapati seseorang berpuasa di bulan Syawal, misalnya. Maka boleh jadi
orang tersebut sedang membayar hutang puasanya, boleh jadi ia sedang puasa
Syawal, atau boleh jadi ia sedang puasa sunnat lainnya. Yang membedakan dan
menentukan untuk apa amalan tersebut adalah niatnya.
Ke-tiga;
dibedakannya maksud dan tujuan sebuah amalan. Seseorang mengerjakan keta’atan
bahkan perbuatan yang bersifat ibadah. Maka apakah perbuatan tersebut diniatkan
untuk mendapatkan keridloan ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala atau mengharapkan selain
dari itu ditentukan oleh niatnya.
4. Pentingnya ikhlas
di dalam beramal.
Ada sebagian
ulama yang menafsirkan ma’na Niat ini dengan Ikhlas. Yang demikian juga benar,
karena artinya: Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada keikhlasan
pelakunya. Sebuah amal -betapapun baik atau bermanfa’atnya itu- jika tidak
dilandasi keikhlasan tidak akan diterima oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.
“Dan
tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada ALLAH dengan
mengikhlaskan agama ini semata-mata bagi NYA…” (Al Bayyinah: 5)
Sungguh ALLAH
Subhanahu Wa Ta’aala tidak membutuhkan keringat atau harta kita. Dan
mengikhlaskan amalan semata-mata karena ALLAH merupakan wujud mentauhidkan
ALLAH. Artinya, ikhlas juga merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari
diciptakannya kita oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala.
Sayangnya, masih banyak orang yang
salah mengerti tentang ma’na ikhlas. Menurut mereka, ikhlas itu artinya tidak menuntut apa-apa
dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bahkan mereka beranggapan bahwa, barangsiapa
beribadah untuk mengharapkan surga maka itu ibadahnya pedagang. Dan barangsiapa
beribadah karena takut akan neraka maka itu ibadahnya budak. Ada lagi yang
berkata, “Hendaknya kita malu untuk meminta-minta kepada ALLAH, karena IA telah
banyak memberikan segala sesuatu kepada kita. Apalagi, ALLAH Maha
Mengetahui apa yang kita butuhkan tanpa harus kita meminta.” Ada
lagi yang lebih lancang -semoga ALLAH memberi nya hidayah- dengan
memperumpamakan ikhlas itu keadaannya seperti kita buang air besar, di mana
kita tidak memperdulikan apa yang keluar dari perut kita dan bahkan kita merasa
lega setelah membuang nya.
Alangkah
berbahayanya ucapan ini dan alangkah buruknya perumpamaan yang mereka berikan.
Pertama; mereka telah
mendustakan janji-janji dan ancaman-ancaman ALLAH. Lantas buat apa ALLAH
Subhanahu Wa Ta’aala menjanjikan kita sorga dan menakut-nakuti kita dengan
neraka, jika ibadah kita bukan karena itu ?
Ke-dua: mereka
menantang kemurkaan ALLAH dan menolak keridloan-NYA. Dan jika orang tersebut
tidak bertobat dari keyakinannya, sangat boleh jadi ia tak akan masuk sorga
karena memang ia tak mengharapkannya, dan ia akan dimasukkan ke neraka karena
mengatakan tidak takutnya kepada neraka. ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala
menggambarkan ikhlas dengan perumpamaan yang baik, sedang mereka
menggambarkannya dengan perumpamaan yang buruk.
Ke-tiga: menyelisihi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan merasa lebih baik dari beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saja berdo’a ,” Ya, ALLAH. Aku mengharapkan ridlo-MU dan Surga. Dan aku
berlindung dari murka-MU dan Neraka.”
Ke-empat; melecehkan
perintah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala. Bukankah ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala telah
memerintahkan hamba-NYA agar berdo’a:
“Dan
berkata Rabb kalian: “Berdo’alah kalian kepada KU, niscaya KU penuhi untuk
kalian…” (Al Mu’min:
60)
Hendaknya kita
senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa
diuji. Pertama; sebelum beramal, yakni berupa niat. Kepada siapa dan karena apa
kita niatkan amalan kita ? Ke-dua; ketika tengah beramal. Boleh jadi amalan
yang semula lhklas terganggu disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak
terduga. Sebagai contoh, kita marah ketika ucapan salam kita tidak dijawab,
atau sedekah kita ditolak mentah-mentah, atau kita tambah bersemangat ketika
tahu amalan kita ada yang memperhatikan. Ke-tiga; ketika amal telah berlalu.
Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba dalam
sebuah obrolan kita bangkit-bangkitkan jasa kita dahulu.
5.
Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.
Sebuah amal
kebaikan akan menjadi ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan niat yang
baik, berupa keikhlasan, Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat
buruk, berupa ksyirikan -baik kecil apalagi besar-. Akan tetapi seseorang tidak
boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat. Dan
berangkat dari perkara inilah sesungguhnya judul tulisan di atas dibuat.
Di dalam hadits
ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan pembatasan pada
kata Amal, di mana yang dimaksudkan adalah amalan-amalan keta’atan. Apalagi
kemudian beliau tegaskan dengan contoh Hijrah. Maka tidak boleh kita
meng-qiyas-kan amalan yang baik ini dengan amalan yang buruk, seperti mencuri
misalnya.
Namun
akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau
,”Niat kita khan baik.” Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah
segala macam yang tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak
ada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada nya. Semua atas nama baiknya
niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan alasan baiknya niat?
Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini yang mengaku punya niat buruk.
Bukankah para penjahat juga jika ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu,
niscaya mereka mengatakan bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan
isteri-.
Seandainya
memang amalan yang buruk atau jahat itu bisa menjadi baik karena niat dan yang
haram bisa menjadi halal (bukan dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa
bedanya ajaran yang suci ini (Islam) dengan Machiavalisme, sebuah falsafah
-Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh si kafir Nicolo Machiavale ?.
Maka hendaknya
berhati-hati dalam mengatakan (“Yang penting niat.”) atau (“Niat kita khan
baik.”). Boleh jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia dan
menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang
mengagungkan si kafir tadi. (Na’uzubillah).
Penutup
Masih banyak faedah, fiqh, atau
hikmah yang dapat kita petik selain yang telah disebutkan di atas seperti,
keutamaan hijrah, balasan sesuai amalan, atau syarat diterimanya ibadah. Namun
kami cukupkan pembahasan di dalam perkara yang berkaitan langsung dengan judul
di atas dan dengan permasalahan yang hendak kami bahas.
Dengan melihat bagaimana para ulama
berkomentar tentang hadits ini, tidak sedikitnya kitab-kitab yang diawali
dengan hadits ini -bahkan itu semua adalah kitab-kitab yang terkenal-, dan
begitu banyaknya ulama belakangan yang menguraikan nya, cukuplah ketidakhafalan
dan ketidakpahaman kita akan hadits ini sebagai bukti ketidakseriusan kita
dalam beragama.
Sumber :
Buletin Jum’at Risalah Tauhid Edisi
32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar