KIAT-KIAT MEMAKNAI RAMADHAN..
Kiat Pertama Memaknai Ramadhan : Bertawakal kepada Allah Ta’ala
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut
kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan
bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua
adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”
Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan
suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan
dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
1. Sikap Sebelum Beramal
Bertawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar
menolong dan meluruskan amalannya. Menghadirkan rasa tawakal kepada
Allah merupakan hal paling penting untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak
berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna,
melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus
berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya
Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan
amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam
menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika
akan beramal (ibadah puasa Ramadhan) karena kita adalah manusia yang
disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
2. Sikap Saat Mengerjakan Amalan Ibadah
Seorang hamba hendaknya ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat
diterimanya suatu amalan di sisi Allah, sesuai Firman Allah ta’ala,
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Demikian pula telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
3. Sikap Seusai Beramal
Seorang hamba hendaknya memperbanyak istigfar (permohonan ampun)
atas kurang sempurnanya ia dalam beramal/beribadah. Ia juga butuh
memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik
sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan
antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan
tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa
mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun!
Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai
fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan…
Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini
dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh
amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan
takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah
kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa
tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya,
orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (merasa bisa begini dan
begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan
kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.
Kiat Kedua Memaknai Ramadhan: Banyak Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8 )
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada
seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Dosa hanya akan menjauhkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga
dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian
kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya harus memenuhi empat syarat:
1. Meninggalkan maksiat.
2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia
harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat:
Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38 )
Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang
betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat
maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini
berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para
selebritis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah
itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.
Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk
tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus
tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
Kiat Ketiga Memaknai Ramadhan : Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Kualitas Pahalanya
Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana
kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi
keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini
berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari
ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan
kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan
membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak
membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Kiat Keempat Memaknai Ramadhan : Memprioritaskan (Menyempurnakan) Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib.
Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah
amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri
kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada
amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan
Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi
kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul
ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:
“Barang siapa yang shalat karena Allah
selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan
takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat
kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak
mampu diperbanyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk
memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di
masjid (bagi pria), serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid
sebelum adzan dikumandangkan. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang
wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang
paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang
melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir
tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga
shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan
shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!?
Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap
kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa
diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada
mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak
menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah
mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim
menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap
amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah
menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima Memaknai Ramadhan: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih
lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1,
dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan
membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS.
Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu
bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3).
Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan
mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini,
seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk
meraihnya.
Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?
Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang
sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di
malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu
tahun pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar jatuh
pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri
bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)
Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:
“Demi Allah aku mengetahuinya (lailatul
qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh pada malam yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bangun
malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)
Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh
malam terakhir dari bulan Ramadhan:
“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cara memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan
mengatakan bahwa lailatul qadar setiap tahunnya selalu berpindah-pindah
dari satu malam yang ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak
keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul
Baari karya Ibnu Hajar, dan Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin
(6/493-495))
Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
- Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya
kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir,
doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir
Ramadhan terutama malam yang ganjil.
- Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para
hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan
siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri
Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)
Maka seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu;
menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu
agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang
yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam
tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar
jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama
40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen
emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir
Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya
dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kiat Keenam Memaknai Ramadhan: Jadikan
Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus
Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar
mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat
dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam
diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan
Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di
masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir,
rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan,
mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.
Allah ta’ala memerintahkan:
“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin
beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka
pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”
Semoga kita tergolong orang-orang yang mampu menikmati keutamaan
Ramadhan dan memperoleh hikmahnya, khususnya hikmah lailatul qadar.
Ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar
akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah berubahnya diri kita
menjadi lebih baik daripada kondisi sebelum Ramadhan.
Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar