Minggu, 15 Juni 2014

Etika Menolong dalam Islam



ADA banyak nama untuk bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya Bulan Keberkahan, Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr al-Muwasat). Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan dengan orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.

Perintah untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca setiap selesai shalat wajib:

Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Bersamaan dengan doa yang mereka lantunkan, semua Muslim harus menjadi tangan-tangan Tuhan untuk memenuhi doa itu. "Puasa itu hanya untuk Aku," kata Tuhan. Puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada Bulan Berbagi bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi ibadah sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.

Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt, penyair Inggris, dalam kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem, yakni Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah) satu malam terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuat Abou berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?"
Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di situ?" kata Abou. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abou berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia." Malaikat menulis dan menghilang.

Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abou Ben Adhem di atas semua nama.

Menolong mereka berarti menolong Aku

Abou Ben Adhem mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.

Bagi kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:
Marilah kita jatuh cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh penjuru Bumi/ Marilah kita menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan lembut dalam wewangian surgawi/ Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan/ Dan seperti getah pohon yang muda/ Biarkan berkat dari dalam mengaliri kita/ Marilah kita ukir permata dari hati kita yang membatu/ Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan cinta/ Lirikan cinta sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya.

Baik Abou Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya.

Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya." (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah).

Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.

Abou Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya."

Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, tasawuf dianggap mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristen. Tor Andrae, pernah menjadi bishop Lutheran dari Linkvping, mengungkapkan bagaimana Yesus sering dijadikan rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus bukan saja tentang kesederhanaan hidup yang dijalankannya, tetapi juga perhatiannya untuk menolong orang lain.

Namun, kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga belajar jalan cinta dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami."

Dengan marah Musa menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?" Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang."

Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.

Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan."
"Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa," kata Musa.
"Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku."

Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
Dalam Al-Quran juga ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan." (QS An Nisaa: 36-37)


Menolong Harus Tulus

Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa", yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan," kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.

Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul, Turki.
Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.

Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut."


(Renungan ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des Helfens im Islam, yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar "Die Ethik des Helfens aus der Sich verschiedener Religionen", Basel, 8-13 September 2002).

Sabtu, 20 April 2013

G H I B A H


.Ghibah adl penyakit hati yg memakan kebaikan mendatangkan keburukan serta membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat krn kurangnya pemahaman agama kehidupan yg semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi telepon misalnya juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.

Ghibah adl membicarakan orang lain dgn hal yg tidak disenanginya bila ia mengetahuinya baik yg disebut-sebut itu kekurangan yg ada pada badan nasab tabiat ucapan maupun agama hingga pada pakaian rumah atau harta miliknya yg lain. Menyebut kekurangannya yg ada pada badan seperti mengatakan ia pendek hitam kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong fasik munafik dan lain-lain. Kadang orang tidak sadar ia telah melakukan ghibah dan saat diperingatkan ia menjawab ” Yang saya katakan ini benar adanya! ” Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dgn tegas menyatakan perbuatan tersebut adl ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau bagaimana bila yg disebut-sebut itu memang benar adanya pada orang yg sedang digunjing-kan beliau menjawab ” Jika yg engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut maka engkau telah melakukan ghibah dan jika yg engkau sebut tidak ada pada orang yg engkau sebut maka engkau telah melakukan dusta atasnya.

Menggunjing tidak terbatas dgn lisan saja namun juga bisa terjadi dgn tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata gerakan tangan cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adl memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dgn tangannya yg menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda ” Engkau telah melakukan ghibah! ” Semisal dgn ini adl gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yg demikian ini lbh parah daripada ghibah krn di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.


Cara Taubat dari Ghibah
Taubat dari Ghibah Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yg melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah Ta’ala krn melakukan perbuatan yg jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yg harus diambil utk menghindari maksiat ini adl dgn taubat yg mencakup tiga syaratnya yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut menyesali perbuatan yg telah dilakukan dan berjanji utk tidak melakukannya lagi. Selanjutnya harus diikuti dgn langkah kedua utk menebus kejahatannya atas hak manusia yaitu dgn mendatangi orang yg digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjuk-kan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yg dibicarakannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya maka bagi yg melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dgn kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri utk tidak mengulanginya.

Kiat Menghindari Ghibah
Kiat Menghindari Ghibah Untuk mengobati kebiasaan ghibah yg merupakan penyakit yg sulit dideteksi dan sulit diobati ini ada beberapa kiat yg bisa kita lakukan.
  • Jika aib orang yg hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah krn Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut bukannya malah mengotori dirinya dgn aib yg lbh besar yg berupa perbuatan ghibah.
  • Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya maka ia seperti orang yg makan bangkai saudaranya sendiri sebagaimana yg difirmankan Allah ” Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yg lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yg sudah mati?
  • Hukumnya wajib mengi-ngatkan orang yg sedang melakukan ghibah bahwa perbuatan tersebut hukum-nya haram dan dimurkai Allah.
  • Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yg melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah. Mudah-mudahan Allah selalu menjauhkan kita dari perbuatan yg tidak terpuji ini amin.
  • Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adl penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.
  • Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yg digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali maka diambilkan dari timbangan kejahatan orang yg digunjingkannya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu niscaya seseorang akan berfikir seribu kali utk melakukan perbuatan ghibah.
  • Hendaknya orang yg melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Oleh Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia. sumber file al_islam.chm

Mensyukuri dan Menikmati Proses, Bukan Menunggu Hasil

Sebenar yg harus kita ni’mati dalam hidup ini adl proses. Mengapa? Karena yg bernilai dalam hidup ini ternyata adl proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu Allah yg menetapkan tapi bagi kita punya kewajiban untuk meni’mati dua perkara yg dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga yaitu selalu menjaga tiap niat dari apapun yg kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yg dilakukan selebih terserah Allah SWT.

Seperti para mujahidin yg berjuang membela bangsa dan agama sebetul bukan kemenangan yg terpenting bagi mereka krn menang-kalah itu akan selalu dipergilirkan kepada siapapun. Tapi yg paling penting bagi adalah bagaimana selama berjuang itu niat benar krn Allah dan selama berjuang itu akhlak juga tetap terjaga. Tidak akan rugi orang yg mampu seperti ini sebab ketika dapat mengalahkan lawan berarti dapat pahala kalaupun terbunuh berarti bisa jadi syuhada. Ketika jualan dalam rangka mencari nafkah utk keluarga maka masalah yang terpenting bagi kita bukanlah uang dari jualan itu krn uang itu ada jalur ada rizki dari Allah dan semua pasti mendapatkannya. Karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yg didapat maka akan gampang sekali bagi Allah utk memusnahkan untung yg didapat hanya dalam waktu sekejap.

Dibuat musibah menimpa dikenai bencana hingga akhir semua untung yg dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika. Walhasil yg terpenting dari bisnis dan ikhtiar yg dilakukan adl prosesnya. Misal bagaimana selama berjualan itu kita selalu menjaga niat agar tak pernah ada satu miligram pun hak orang lain yg terambil oleh kita bagaimana ketika berjualan itu kita tampil penuh keramahan dan penuh kemuliaan akhlak bagaimana ketika sedang bisnis benar-benar dijaga kejujuran kita tepat waktu janji-janji kita penuhi. Dan keuntungan bagi kita ketika sedang berproses mencari nafkah adl dgn sangat menjaga nilai-nilai perilaku kita.

Perkara uang sebenarya tak usah terlalu dipikirkan krn Allah Mahatahu kebutuhan kita lbh tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tak akan terangkat oleh keuntungan yg kita dapatkan tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yg kita jalani. Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siap pun yg sedang bisnis bahwa yg termahal dari kita adl nilai-nilai yg selalu kita jaga dalam proses. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar kalau kuliah hanya meni’mati hasil ataupun hanya ingin gelar bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tak tahu kapan akan meninggal. Karena yg paling penting dari perkuliahan ta dulu pada diri mau apa dgn kuliah ini?

Kalau hanya utk mencari isi perut kata Imam Ali “Orang yg pikiran hanya pada isi perut maka derajat dia tak akan jauh beda dgn yg keluar dari perutnya”. Kalau hanya ingin cari uang hanya tok uang maka asal tahu saja penjahat juga pikiran hanya uang. Bagi kita kuliah adl suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhir hidup kita bisa lbh meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuan adl agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain.

Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain. Dalam mencari rizki ada dua perkara yg perlu selalu kita jaga ketika sedang mencari kita sangat jaga nilai-nilai dan ketika dapat kita distribusikan sekuat-kuatnya. Inilah yg sangat penting. Dalam perkuliahan niat kita mau apa nih? Kalau mau sekolah mau kuliah mau kursus selalu tanyakan mau apa nih?

Karena belum tentu kita masih hidup ketika diwisuda krn belum tentu kita masih hidup ketika kursus selesai. Ah Sahabat. Kalau kita selama kuliah selama sekolah selama kursus kita jaga sekuat-kuat mutu kehormatan nilai kejujuran etika dan tak mau nyontek lalu kita meninggal sebelum diwisuda? Tidak ada masalah krn apa yg kita lakukan sudah jadi amal kebaikan. Karena jangan terlalu terpukau dgn hasil. Saat melamar seseorang kita harus siap menerima kenyataan bahwa yg dilamar itu belum tentu jodoh kita.

Persoalan kita sudah datang ke calon mertua sudah bicara baik-baik sudah menentukan tanggal tiba-tiba menjelang pernikahan ternyata ia mengundurkan diri atau akan menikah dgn yg lain. Sakit hati sih wajar dan manusiawi tapi ingat bahwa kita tak pernah rugi kalau niat sudah baik cara sudah benar kalaupun tak jadi nikah dgn dia. Siapa tahu Allah telah menyiapkan kandidat lain yg lbh cocok. Atau sudah daftar mau pergi haji sudah dipotret sudah manasik dan sudah siap utk berangkat tiba-tiba kita menderita sakit sehingga batal utk berangkat. Apakah ini suatu kerugian? Belum tentu! Siapa tahu ini merupakan ni’mat dan pertolongan dari Allah krn kalau berangkat haji belum tentu mabrur mungkin Allah tahu kapasitas keimanan dan kapasitas keilmuan kita.

Oleh sebab itu sekali lagi jangan terpukau oleh hasil krn hasil yg bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan Allah. Kalau misal kualifikasi mental kita hanya uang 50 juta yg mampu kita kelola. Suatu saat Allah memberikan untung satu milyar nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena tiap datang rizki akan efektif kalau iman kita bagus dan kalau ilmu kita bagus. Kalau tak datang uang datang gelar datang pangkat datang kedudukan yg tak dibarengi kualitas pribadi kita yg bermutu sama dgn datang musibah.

Ada orang yg hina gara-gara dia punya kedudukan krn kedudukan tak dibarengi dgn kemampuan mental yang bagus jadi petantang-petenteng jadi sombong jadi sok tahu maka dia jadi nista dan hina krn kedudukannya. Ada orang yg terjerumus bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Hal ini karena ketika belum dapat untung akan susah ke tempat maksiat krn uang juga tak ada tapi ketika punya untung sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudah mengakses tempat-tempat maksiat. Nah Sahabat. Selalulah kita ni’mati proses.

Seperti saat seorang ibu membuat kue lebaran ternyata kue lebaran yg hasil begitu enak itu telah melewati proses yg begitu panjang dan lama. Mulai dari mencari bahan-bahan memilah-milah menyediakan peralatan yg pas hingga memadukan dgn takaran yg tepat dan sampai menunggui di open. Dan lihatlah ketika sudah jadi kue baru dihidangkan beberapa menit saja sudah habis. Apalagi biasa tak dimakan sendirian oleh yg membuatnya. Bayangkan kalau orang membuat kue tadi tak meni’mati proses membuat dia akan rugi krn dapat capek saja krn hasil proses membuat kue pun habis dgn seketika oleh orang lain. Arti ternyata yg kita ni’mati itu bukan sekedar hasil tapi proses.

Begitu pula ketika ibu-ibu punya anak lihatlah prosesnya. Hamil sembilan bulan sungguh begitu berat tidur susah berbaring sulit berdiri berat jalan juga limbung masya Allah. Kemudian saat melahirkan pun berat dan sakit juga setengah mati. Padahal setelah si anak lahir belum tentu balas budi. Sudah perjuangan sekuat tenaga melahirkan sewaktu kecil ngencingin ngeberakin sekolah ditungguin cengeng luar biasa di SD tak mau belajar {bahkan yg belajar yg mengerjakan PR justru malah ibunya} dan si anak malah jajan saja saat masuk SMP mulai kumincir masuk SMU mulai coba-coba jatuh cinta. Bayangkanlah kalau semua proses mendidik dan mengurus anak itu tak pakai keikhlasan maka akan sangat tak sebanding antara balas budi anak dgn pengorbanan ibu bapaknya.

Bayangkan pula kalau menunggu anak berhasil sedangkan proses sudah capek setengah mati seperti itu tiba-tiba anak meninggal naudzhubillah apa yg kita dapatkan? Oleh sebab itu bagi para ibu ni’matilah proses hamil sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mengurus anak pusing ngadat- dan rewel anak sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mendidik anak menyekolahkan anak dgn penuh jerih payah dan tetesan keringat sebagai ladang amal. Jangan pikirkan apakah anak mau balas budi atau tak sebab kalau kita ikhlas menjalani proses ini insya Allah tak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yg kita dapatkan tapi apa yg dgn ikhlas dapat kita lakukan.


Sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym

Kamis, 28 Maret 2013

Keutamaan Sedekah

Diantara keutamaan bersedekah antara lain:

1. Sedekah dapat menghapus dosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والصدقة تطفىء الخطيئة كما تطفىء الماء النار

“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614)
Adapun dalam hal diampuninya dosa dengan sebab sedekah di sini tentu saja harus disertai taubat atas dosa yang dilakukan. Tidak sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, mengambil harta anak yatim, dan sebelum melakukan hal-hal ini ia sudah merencanakan untuk bersedekah setelahnya agar ‘impas’ tidak ada dosa. Yang demikian ini tidak dibenarkan karena termasuk dalam merasa aman dari makar Allah, yang merupakan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99)

2. Orang yang bersedekah akan mendapatkan naungan di hari akhir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang 7 jenis manusia yang mendapat naungan di suatu, hari yang ketika itu tidak ada naungan lain selain dari Allah, yaitu hari akhir. Salah satu jenis manusia yang mendapatkannya adalah:

رجل تصدق بصدقة فأخفاها، حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

“Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya, ia menyembunyikan amalnya itu sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no. 1421)

3. Memberi keberkahan pada harta.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا

“Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim, no. 2588)
Apa yang dimaksud hartanya tidak akan berkurang? Dalam Syarh Shahih Muslim, An Nawawi menjelaskan: “Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud disini mencakup 2 hal: Pertama, yaitu hartanya diberkahi dan dihindarkan dari bahaya. Maka pengurangan harta menjadi ‘impas’ tertutupi oleh berkah yang abstrak. Ini bisa dirasakan oleh indera dan kebiasaan. Kedua, jika secara dzatnya harta tersebut berkurang, maka pengurangan tersebut ‘impas’ tertutupi pahala yang didapat, dan pahala ini dilipatgandakan sampai berlipat-lipat banyaknya.”

4. Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid: 18)

5. Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah.

من أنفق زوجين في سبيل الله، نودي في الجنة يا عبد الله، هذا خير: فمن كان من أهل الصلاة دُعي من باب الصلاة، ومن كان من أهل الجهاد دُعي من باب الجهاد، ومن كان من أهل الصدقة دُعي من باب الصدقة

“Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR. Bukhari no.3666, Muslim no. 1027)

6. Menjadi bukti keimanan seseorang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والصدقة برهان

“Sedekah adalah bukti.” (HR. Muslim no.223)
An Nawawi menjelaskan: “Yaitu bukti kebenaran imannya. Oleh karena itu shadaqah dinamakan demikian karena merupakan bukti dari Shidqu Imanihi (kebenaran imannya)”

7. Membebaskan dari siksa kubur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‏إن الصدقة لتطفىء عن أهلها حر القبور
“Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR. Thabrani, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib, 873)

8. Sedekah dapat mencegah pedagang melakukan maksiat dalam jual-beli

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يا معشر التجار ! إن الشيطان والإثم يحضران البيع . فشوبوا بيعكم بالصدقة

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa keduanya hadir dalam jual-beli. Maka hiasilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi no. 1208, ia berkata: “Hasan shahih”)

9. Orang yang bersedekah merasakan dada yang lapang dan hati yang bahagia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan yang bagus tentang orang yang dermawan dengan orang yang pelit:

مثل البخيل والمنفق ، كمثل رجلين ، عليهما جبتان من حديد ، من ثديهما إلى تراقيهما ، فأما المنفق : فلا ينفق إلا سبغت ، أو وفرت على جلده ، حتى تخفي بنانه ، وتعفو أثره . وأما البخيل : فلا يريد أن ينفق شيئا إلا لزقت كل حلقة مكانها ، فهو يوسعها ولا تتسع

“Perumpamaan orang yang pelit dengan orang yang bersedekah seperti dua orang yang memiliki baju besi, yang bila dipakai menutupi dada hingga selangkangannya. Orang yang bersedekah, dikarenakan sedekahnya ia merasa bajunya lapang dan longgar di kulitnya. Sampai-sampai ujung jarinya tidak terlihat dan baju besinya tidak meninggalkan bekas pada kulitnya. Sedangkan orang yang pelit, dikarenakan pelitnya ia merasakan setiap lingkar baju besinya merekat erat di kulitnya. Ia berusaha melonggarkannya namun tidak bisa.” (HR. Bukhari no. 1443)

Dan hal ini tentu pernah kita buktikan sendiri bukan? Ada rasa senang, bangga, dada yang lapang setelah kita memberikan sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang mengabarkan tentang manfaat sedekah dan keutamaan orang yang bersedekah. Tidakkah hati kita terpanggil untuk bersedekah? Semoga dimudahkan ya akhiy, ukhty…