ADA banyak nama untuk
bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya Bulan Keberkahan, Bulan
Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr
al-Muwasat). Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi
kekayaan dengan orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan
mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.
Perintah untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca setiap
selesai shalat wajib:
Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Bersamaan dengan doa
yang mereka lantunkan, semua Muslim harus menjadi tangan-tangan Tuhan untuk
memenuhi doa itu. "Puasa itu hanya untuk Aku," kata Tuhan. Puasa
dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung
selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan
dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan
pada Bulan Berbagi bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi
ibadah sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.
Mencintai Tuhan dengan
mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt, penyair Inggris, dalam kisah seorang
sufi, Abou Ben Adhem, yakni Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah) satu
malam terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya
terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah,
seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuat Abou berani
berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?"
Bayangan terang
itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata,
"Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di
situ?" kata Abou. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abou
berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku
bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia."
Malaikat menulis dan menghilang.
Pada malam berikutnya
ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang
diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abou Ben Adhem di atas semua nama.
Menolong mereka berarti menolong Aku
Menolong mereka berarti menolong Aku
Abou Ben Adhem mungkin
lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal
dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi,
keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat
keberagamaan.
Bagi kita semua, Rumi
mendendangkan lagu ini:
Marilah kita jatuh
cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh penjuru Bumi/ Marilah kita
menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan lembut dalam wewangian surgawi/
Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan/ Dan seperti getah pohon yang muda/
Biarkan berkat dari dalam mengaliri kita/ Marilah kita ukir permata dari hati
kita yang membatu/ Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan cinta/ Lirikan
cinta sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya.
Baik Abou Ben Adhem
maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai
sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada
hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil
hamba-hamba-Nya.
Ia berkata kepada
salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan
kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu
tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi,
"Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya
mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika
kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan
sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan
haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya."
(Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah).
Ketika seorang
murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan
tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti
Jalan Tasawuf bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan
berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun
ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan
sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah
berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Abou Said Abul Khayr
terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah
seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air,
ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya
kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat
dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan
apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati
Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia,
memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya."
Mungkin karena
perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, tasawuf dianggap mempunyai
hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristen. Tor Andrae, pernah menjadi
bishop Lutheran dari Linkvping, mengungkapkan bagaimana Yesus sering dijadikan
rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus bukan saja
tentang kesederhanaan hidup yang dijalankannya, tetapi juga perhatiannya untuk
menolong orang lain.
Namun, kaum sufi bukan
hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga belajar jalan cinta dari Musa.
Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali
mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri
jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan
kami."
Dengan marah Musa
menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?"
Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa
tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang
Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang."
Musa menyampaikan
sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta
itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan
jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku
makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang.
Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan
bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi
tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan
akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan
mereka.
Musa menaiki bukit
Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap
orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan
menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan
ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air.
Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu
maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan."
"Tuhanku, seorang
tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia
biasa," kata Musa.
"Aku bersama
hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga.
Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil
untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak
makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani
mereka berarti melayani Aku."
Berbakti kepada sesama
manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis
kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang
dengan baik.
Dalam Al-Quran juga
ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti
itu, siksa yang menghinakan." (QS An Nisaa: 36-37)
Menolong Harus Tulus
Tindakan membahagiakan
orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa",
yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang
imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk
sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau
singkirkan duri dari jalanan," kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong
orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional
love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam
hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan
Tuhan di Bumi.
Alkisah,
bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah
Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid,
rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak
punya air di Istanbul, Turki.
Pada suatu hari, ia
mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia
melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut
semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.
Tidak lama setelah
itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka.
Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk
ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia
menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku
berikan. Saya masuk surga karena seekor semut."
(Renungan ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des Helfens im Islam, yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar "Die Ethik des Helfens aus der Sich verschiedener Religionen", Basel, 8-13 September 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar