Kandungan Wasiat Penting Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan
Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada,
mereka meminta wasiat beliau, seraya berkata: “Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah, karena itu berilah
wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di antaranya:
1. Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh
seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul
dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada
orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam
firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada
orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian
agar bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)
Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana firman-Nya:
“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al Baqarah: 197)
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
2. Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin,
karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan
orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri, di
samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An Nisa’: 59)
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang
menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah
kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang
budak Habasyah (Ethopia) yang rambutnya seperti kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzarr no. 648)
Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian
ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi
penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah
sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid
untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah
akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui
bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia
sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai
permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin
mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain
ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak
(yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan
itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak
kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan
yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar
atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi
pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan
kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)
Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang
ma‘ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)
3. Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian
yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan
yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan
sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan kepada para
sahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan
terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai
dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah
menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu yang
selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi, no.2129)
Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang
perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah
beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan
berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham
(Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa
dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi
geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225).
Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar
terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang
harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari
sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi).
Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul
Arba’in, hal. 75).
Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk
memegangi sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di
sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhum, kata
Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan (Ar Rasyidin)
karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya.
Mereka adalah (Al Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk mereka
kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.
(Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul ‘Ulum, 1/127)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’
Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala
menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa
pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara
global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang
lainnya. (Al I’tisham, 1/118)
Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah
adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al Khulafa’
Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan
jalannya Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling
bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya
dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah
berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara
yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekalipun
dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang
besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah
ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari
pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau
kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik
daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)
4 Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari
perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat beliau dari
perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara
perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini. Dan
beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena
setiap bid`ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka
kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan
bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar radliallahu anhu ketika
melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia
berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”
Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i
karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya bersama para sahabat
selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya
menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan
diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka
yang tidak mampu melaksanakannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar