يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. QS Al-Baqarah :
21
Hai manusia
|
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ
|
sembahlah Tuhanmu
|
اعْبُدُوا
رَبَّكُمُ
|
yang telah menciptakanmu
|
الَّذِي
خَلَقَكُمْ
|
dan orang-orang yang sebelummu
|
خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
|
agar kamu bertakwa
|
لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
|
Syarah Ayat :
Ayat ini adalah sebuah perintah bagi seluruh
manusia untuk menyembah Allah ta'ala. Karena Dialah yang telah menciptakan
manusia. Baik manusia terdahulu ataupun
manusia yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini
memiliki makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah
saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini memiliki korelasi yang kuat
dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah
kepadaNya saja.
Dalam ayat ini
juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh adalah
Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan menciptakan manusia dari
ketiadaan, Dia juga telah menciptakan umat-umat sebelum kita. Nikmat yang
diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang tidak nampak. Dan
menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat berketurunan, bercocok tanam,
berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lainnya serta
manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah menciptakan langit sebagai sebuah atap
bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa perintah dalam ayat ini
bersifat umum untuk seluruh manusia. Sifat perintahnya sendiri umum yaitu untuk
beribadah dengan segala bentuk ibadah, yaitu melaksanakan semua yang
diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya serta membenarkan
kabar-kabarnya. Hal ini sebagaimana perintah Alloh ta'ala dalam QS Adz-Dzariyat
: 56. Allah ta'ala berfirman :
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS
Adz-Dzaariyat : 56.
Ayat ini
menegaskan tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu
untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif
disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyebutkan :
العبادة
هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah
sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang
diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin
ataupun yang dhahir (nyata).
Dari pendapat ini berarti setiap
aktifitas kita yang dicintai dan diridhaiNya maka semua itu adalah bagian dari
ibadah. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ibadah (Al Khairaat / Al Ihsaan) adalah semua kerja manusia
(baik perkataan maupun gerak fisik dan hati) yang mencakup kerja yang murni
berhubungan dengan Khaliqnya maupun kerja yang berhubungan dengan sesamanya
dalam manifestasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain serta kerja
yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang kesemuanya dengan syarat masuk
dalam lingkup keridhaan dan kecintaan Allah.
Membahas tentang ibadah maka wajib
bagi kita untuk mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta
perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal,
takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan
syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan,
atau kepada hambaNya yang shaleh.
Salah satu
sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa
takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian
daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan.
Perlu diketahui
bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan
tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam
perkara.
Pertama : Sebab.
Jika seseorang
melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka
ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang
yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan
dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena
dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah
tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini
-yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting,
karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap
termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.
Kedua : Jenis
Artinya : ibadah
harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena
menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu
unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar
(Bilangan).
Kalau seseorang
yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu
diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena
tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi,
apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak
sah.
Keempat :
Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada
orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya
karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.
Kelima : Waktu.
Apabila ada
orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah,
maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah
mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan
menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada
sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai
kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad
mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah
bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam :
Tempat.
Andaikata ada
orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat
i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak
beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena
tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya :
Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di
dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf
adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Artinya :
Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari
penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali
apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama : Ikhlas
dan kedua : Mutaba'ah.
1. Ikhlas, Hal ini berintikan 2 hal :
a.
Iman : semua aktifitas harus dilandaskan
pada keimanan.
b.
Ihtisab : semua
aktifitas harus bertujuan mencari ridha Allah
Dari Amirul
mukminin Abu Hafshin Umar Ibnul Khothob t, dia berkata :
Aku mendengar Rasulullah r bersabda :
Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat, dan untuk setiap orang itu
sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan
Rosul-Nya, maka hijrahnya akan diterima Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa
yang hijrahnya karena dunia yang ia inginkan atau wanita yang akan dinikahinya,
maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang dia niatkan.”
Imam Asy
Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ali Ibnu Al Madini, Abu
Daud, Ad Daruquthni dan lain-lain berkata : “Bahwa hadist ini sepertiga
ilmu”…Al Baihaqi memberikan arahan tentang makna sepertiga ilmu tersebut “bahwa
usaha / aktifitas seorang hamba dilakukan pada tiga hal : hatinya, lisannya dan
anggota tubuhnya. Maka, niat merupakan salah satu di antara tiga bagian
tersebut. Bahkan, niat merupakan yang paling akurat, dikarenakan dia merupakan
ibadah tersendiri yang dibutuhkan oleh ibadah lainnya”.
Ikhlas karena
Allah I dalam beramal
adalah salah satu syarat diterimanya amal. Karena, Allah I tidak menerima
amal kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya.
Sedangkan 2
makna ikhlas yaitu iman dan ihtisab ada pada sabda Rasulullah :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ
احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang berpuasa dengan penuh iman dan ihtisab (mencari ridha Allah), maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa
dan harta manusia, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan mereka.
Nilai seseorang tidak terletak pada besarnya badan, mulianya keturunan,
kerennya penampilan dan tidak pula pada popularitas dan kredibiltasnya di mata
manusia. Nilai mereka yang sebenarnya di sisi Allah adalah terletak pada iman
mereka, yang tercakup di dalamnya amal perbuatan yang lahir karena iman serta
jiwa ikhlas yang menyertai amal. Hal tersebut berarti bahwa salah satu fokus
perhatian utama manusia harus ditumpukan pada motif dan tujuan suatu pekerjaan;
bukan sekedar bentuknya. Setiap pekerjaan itu ada tubuh dan ruhnya; tubuh
adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar. Sedangkan ruhnya adalah niat
yang mendorong dilakukannya pekerjaan itu dan jiwa ikhlas yang menyertainya.
Tanpanya, sebuah pekerjaan tidak diterima Allah. Allah I berfirman :
وَ مَآ أُمِرُوْا إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. Al
Bayyinah :5)
2. Mutaba’ah (sebuah amal
harus mengikuti tuntutan dan tuntunan Rasulullah. Allah berfirman :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
“Sesungguhnya
pada diri Rasulullah r ada
contoh tauladan yang baik orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. Al
Ahzaab : 21)
Contoh
tauladan yang baik ada pada Rasulullah r. Karena,
orang yang mengikuti beliau adalah orang yang menempuh jalan yang dapat
mengarahkannya kepada kemulian Allah I yaitu
Shirotol Mustaqim (Jalan yang lurus).
Maksudnya
bahwa seluruh perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin harus
sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah atau dilarang olehNya yang telah
dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam masalah mutaba`ah ini
hendaknya kita memperhatikan beberapa kaedah di bawah ini :
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم
دليل على الأمر
Asal pada
hukum ibadah murni adalah bathil sampai ada dalil yang memerintahkannya.
والأصل في العقود و المعاملات الصحة
حتى يقوم دليل على المنع
Asal pada hukum akad dan Mu’amalah
adalah sah sampai ada dalil yang melarangnya
Dari keterangan tersebut dapat kita
simpulkan : Bahwa mutaba’ah dalam ibadah ritual (seperti wudhu, shalat
dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah apakah ada contoh dan perintah dari
Rasulullah atau tidak yang mencakup
antara lain :
-
caranya : Misalnya cara-cara
shalat, wudhu dan lain-lain.
-
Waktunya : Misalnya waktu shalat, waktu
haji dan lain-lain.
-
Jumlahnya : Misalnya jumlah bilangan shalat
malam dan lain-lain.
-
Jenisnya :
Misalnya jenis binatang kurban dan lain-lain.
-
Syaratnya :
Misalnya syarat shalat dan lain-lain.
-
Sebabnya :
Misalnya sebab shalat malam dan lain-lain
Melanggar
ketentuan tersebut berarti jatuh pada perkara bid’ah. Rasulullah r bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa
yang beramal tanpa landasan perintah kami, maka tertolak.”
1. Bahwa mutaba’ah dalam ibadah
Mu’amalah (seperti perekonomian dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah adakah
larangannya dari Rasulullah atau tidak serta tidak melanggar sistem dan etika
bermuamalah yang diajarkan beliau. Yang mencakup antara lain :
a. Benda, barang
atau bahan yang akan dikerjakan.
b. Caranya
:
-
Cara memperolehnya
-
Cara
mengolahnya
-
Cara
menyalurkannya
c. Lingkungan
kerja :
- Orang-orang
yang bekerja
- Kondisi/tempat
bekerja
- Waktu bekerja
dan lain-lain.
Hal tersebut
perlu sekali diperhatikan dengan penuh seksama, agar semua perbuatan kita
bernilai ibadah di sisi Allah I, dan tidak
dipandang sia-sia.
Maka, dapat
disimpulkan bahwa kita perlu menekankan pentingnya dua perkara dasar di mana
suatu amal dapat diterima di sisi Allah dengan terpenuhinya dua perkara
tersebut. Pertama, yaitu ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah, bukan
karena riya, ingin dipuji atau cinta dunia. Kedua, dilakukan dengan benar dan
sesuai dengan Sunnah Allah dalam ciptaanNya dan sejalan dengan
petunjuk-petunjuk Allah dalam syari`ahNya.
Hal tersebut
sesuai dengan penafsiran seorang imam, Fudhail bin `Iyadh ketika mentafsirkan
firman Allah I :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al
Mulk :2)
Dia berkata
bahwa sebaik-baik perbuatan adalah yang paling ikhlas dan paling benar.
Ditanyakan kepadanya : “Apa maksud yang paling ikhlas dan paling benar itu ?”
Dia menjawab : “Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang
dilakukan dengan ikhlas dan benar. Jika perbuatan itu dikerjakan dengan benar
tetapi tidak ikhlas, akan ditolak ; jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak
benar, juga ditolak, sampai amal itu ikhlas dan benar.
Perbuatan yang
ikhlas adalah perbuatan yang dilakukan hanya kepada dan karena Allah. Sedangkan
perbuatan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah”.
Ibnu Rajab Al
Hanbali ketika menjelaskan tiga hadits Rasulullah r yang tercantum
dalam kitab Al Arba`in An Nawawiyah yang dinilai sebagai ushul Islam, yaitu :
1. إنما الأعمال
بالنيات (hadits, No : 1)
2. من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد (Hadits, No : 5)
3. الحلال بين و الحرام بين (Hadits, No : 6)
Beliau
mengatakan : “Sesungguhnya, seluruh ajaran agama bermuara kepada
melaksanakan berbagai perintah, menjauhkan berbagai larangan dan tawaqquf
terhadap masalah syubhat, itulah yang terkandung di dalam hadits An Nu`man bin
Basyir (Hadits, No : 6). Sedangkan hal tersebut tidak akan sempurna kecuali
dengan perkara : Pertama, amal tersebut secara dzahir harus sesuai dengan
Sunnah seperti yang terkandung di dalam hadits `Aisyah t (Hadits, No :
5). Kedua, amal tersebut secara bathin ditujukan mencari wajah dan keridhaan
Allah U seperti yang
terkandung di dalam hadits Umar (hadits, No : 1)”.
Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata
:
لاَ يَصِحُّ الْقَوْلُ إِلاَّ
بِعَمَلٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ
وَ عَمَلٌ وَ نِيَّةٌ إِلاَّ بِالسُّنَّةِ
“Perkataan tidak shah kecuali dengan
amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak shah kecuali dengan niat. Perkataan,
amal perbuatan dan niat tidak shah kecuali dengan Sunnah”.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul
Lahfaan” memberikan nasehat yang amat berharga. Beliau mengingatkan :
“Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluknya sia-sia tanpa arti. Akan
tetapi, Dia menciptakan mereka guna menerima tugas taklif, mengemban amanah
perintah dan larangan serta mengharuskan mereka untuk memahami apa yang
ditunjukkan kepada mereka, baik secara global maupun secara rinci. Dia telah
membagi mereka menjadi dua golongan, golongan yang sa`ied (berbahagia) dan
golongan yang syaqiy (celaka). Dia telah menjadikan masing-masing mereka tempat
kembali yang harus mereka tempati serta memberikan mereka bahan-bahan ilmu dan
amal yang berwujud kalbu, pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya
sebagai sebuah kenikmatan dan anugerah yang
diberikanNya kepada mereka. Maka, barangsiapa yang menggunakan semua itu
dalam rangka menta`atiNya serta berupaya melangkah dalam menempuh jalan mengenal apa yang ditunjukiNya serta tidak
menggantikannya dengan perkara lainnya, itu berarti dia telah sukses
dalam mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, juga berarti dia telah tepat
dalam melangkah di jalan keridhaan Allah I. Dan
barangsiapa yang menggunakan semua itu hanya untuk segala kemauannya dan hawa
nafsunya serta tidak memperdulikan hak Penciptanya, maka pada waktunya dia akan
merugi, saat ditanya tentang semua itu serta akan mendapatkan duka yang
berkepanjangan. Karena, semua hak anggota tubuhnya itu pasti akan dimintakan
pertanggungjawabannya untuk dihisab, berdasarkan firman Allah :
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertang-gunganjawabnya. (QS. Al Israa:36)
Sebagaian ulama salaf mengatakan : ‘Tidak ada satu perbuatanpun – sekalipun
kecil – kecuali akan diajukan kepadanya dua
lembar pertanyaan : mengapa ? dan bagaimana? Yaitu mengapa engkau
lakukan ? dan bagaimana engkau lakukan? …
Pertanyaan pertama menyangkut apakah engkau melakukannya karena Allah I ataukah karena hawa nafsu dan keinginan-keinginan lain yang
engkau harapkan?
Dan pertanyaan
kedua adalah pertanyaan tentang mengikuti Rasul r dalam
melakukan ibadah tersebut. Artinya, apakah amal tersebut adalah sesuatu yang
Aku syari`atkan melalui lisan RasulKu ataukah amalan yang tidak Aku syari`atkan
dan tidak Aku ridhai?
Jalan selamat
dari pertanyaan pertama adalah memurnikan keikhlasan dan jalan selamat dari
pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba`ah (mengikuti dan
mencontoh Rasulullah r, pent). Kalbu
yang sejahtera berarti selamat dari kehendak yang bertentangan dengan
keikhlasan serta hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba`. Inilah hakekat
kesejanteraan kalbu yang membawa keselamatan dan kebahagiaan.”
Referensi
1. Kesempurnaan
Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin,
penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar.
2. Menjadi Muslim
Mandiri, Abdurrahman Ar-Rasyid, Hambali Swadaya Putra Jakarta, 2009.
3. Al-Ubudiyyah,
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
4. Taisir Karim
Ar-Rohman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di.
5. Ilmu Ushul
Al-Bida', Syaikh Ali Hasan Ali Abdul
Hamid Al-Halabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar